Behind Success Story Konglomerat Indonesia a.k.a Old money-nya Indonesia

pradnya
3 min readMay 27, 2023

--

Image: Instagram.com/bisnis.muda.id

Penasaran gak sih, mereka para konglomerat awalnya bisa sekaya itu gimana caranya? Gak mungkin kan tiba-tiba? Pasti ada langkah dari generasi pertama untuk bisa jadi kaya seperti sekarang ini.

Sejumlah konglomerat di negeri ini tentunya memiliki banyak bisnis di berbagai sektor. Salah satunya adalah bisnis perbankan, yaitu dengan mendirikan bank swasta.

Menurut kalian bagaimana awal bank-bank besar tercipta? Di zaman ini, banyak sekali bank yang bermunculan di Indonesia. Berdasarkan data Februari 2021, bahwa jumlah kantor bank umum di Indonesia mencapai 29.949 kantor.

Diawali Pakjun 83 dan Pakto 88

Singkat cerita para konglomerat di Indonesia berawal dari tahun 1988–1998. Persisnya tanggal 1 Juni, pemerintahan Orde Baru meluncurkan Paket Kebijakan Juni atau yang lebih dikenal dengan nama Pakjun 83. Pakjun 83 ini menderegulasi atau mengurangi regulasi negara di bidang moneter dan perbankan. Pemerintah membebaskan pinjaman bank dengan menghapuskan batas suku bunga dan kredit. Perbankan merasa senang dengan kebijakan ini karena sebelumnya penyaluran kredit perbankan sangat dibatasi oleh pemerintah. Akan tetapi, Pakjun 83 tidak mampu mendorong kinerja kredit perbankan secara maksimal.

Pergerakan ekonomi dirasa belum maksimal, Pemerintah Soeharto kemudian melahirkan beragam kebijakan. Salah satu yang eksentrik adalah Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 atau disebut Pakto 88. Pakto 88 menjadi titik balik industri perbankan karena kebijakan ini mempermudah pendirian bank swasta nasional. Hanya dengan Rp 10 miliar, publik mampu mendirikan bank. Sedangkan untuk pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) cukup dengan modal minimum Rp 50 juta.

Pakto 88 menggotong hidayah bagi sejumlah konglomerat di antaranya, Mochtar Riady yang mendirikan Bank Lippo (kini menjadi CIMB Niaga) dan William Soeryadjaya (Group Astra) dengan Bank Summa. Lalu, Mooryati Soedibyo (Mustika Ratu) mendirikan Bank Ratu serta Aburizal Bakrie dengan Bank Nusa Nasional, dan masih banyak yang lainnya. Bank Indonesia (BI) menuliskan total perbankan nasional sejumlah 108 bank umum yang terdiri dari 6 bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 BPD, dan 11 bank campuran.

Terjadinya Krisis Moneter 98

Krisis moneter yang terjadi pada pertengahan 1997, menguncupkan maraknya industri perbankan di era 1990-an. Terjadinya krisis moneter mengakibatkan mata uang rupiah runtuh menyentuh level sangat rendah sebesar Rp 14.965,- per US$. Puncaknya pada bulan Juli 1998, nilai mata uang rupiah terpuruk mencapai Rp 16.650,- per US$. Banyak para debitur utamanya konglomerat tidak sanggup membayar kewajibannya kepada bank.

Alih-alih beranak pinak, rupanya menjamurnya perbankan tak dibarengi dengan manajerial yang tepat. Banyak bank menggantungkan pinjaman luar negeri bertenor pendek. Selain itu, lemahnya pengawasan mengakibatkan banyak penyaluran kredit bank swasta yang terfokus pada debitur dalam satu grup (insider lending). Sehingga menyulut tingginya risiko kredit macet.

Pemerintah mulai putus asa mengatasi krisis. Akhirnya, awal Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF). Walhasil, 15 Januari 1998, dimulainya keterlibatan IMF dalam menyelamatkan perbankan nasional dengan membawa pinjaman senilai US$ 40 miliar. Adapun, syarat yang diajukan IMF yakni salah satunya, melikuidasi bank-bank sakit. Selepas kesepakatan, akhirnya pemerintah melikuidasi 16 bank yang tergolong tidak sehat. Akibatnya, masyarakat memilih menarik dananya dari perbankan sehingga menyebabkan kekeringan likuiditas.

Karena dirasa solusi IMF gagal, pada 4 Juni 1998, pemerintah akhirnya turut aktif membereskan utang swasta sehingga terciptanya kesepakatan Frankfurt untuk restrukturisasi utang swasta. Kesepakatan ini mencakup penyelesaian pinjaman antar bank, pembiayaan perdagangan, dan pinjaman perusahaan swasta. Dengan demikian, diharapkan likuiditas perusahaan tetap terjaga dan tidak terjadi gangguan produksi.

Success Story dan Memperkuat Konglomerasi

Setelah krisis moneter terjadi, sekitar tahun 2004 ke atas para konglomerat bangkit dan memperkuat konglomerasi. Perbankan yang memiliki anak usaha atau konglomerasi harus memperkukuh permodalan. Aturannya untuk mewajibkan penguatan permodalan agar ketika anak usaha terguncang keuangannya, tidak mempengaruhi kestabilan konglomerasi. Penguatan modal itu menjadi cadangan risiko anak usaha nantinya. Jalur pasar modal menjadi metode yang digunakan untuk memperkuat permodalan.

Selain itu, bank universal memungkinkan bank untuk dapat melakukan konglomerasi. Terlebih lagi, bank universal mampu meningkatkan nilai pemegang saham dengan cara menawarkan produk yang lebih luas lewat pemanfaatan investment banking. Investment banking berperan membantu perusahaan yang ingin meluncurkan penawaran saham perdana (IPO) di pasar modal sehingga secara signifikan dapat memperkuat pasar.

--

--